Santri dan Cahaya Literasi

Share Tulisan

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Di balik dinding-dinding pesantren yang sederhana, selalu ada cahaya ilmu yang tak pernah padam.
Cahaya itu lahir dari para santri — mereka yang setiap hari menekuni kitab, mendengarkan nasihat guru, dan menulis ulang ilmu dalam hati dan catatan mereka.

Kini, ketika dunia bergerak cepat menuju era digital, cahaya itu menemukan bentuk barunya.
Dari lembar-lembar kitab kuning yang berdebu, sinarnya kini memancar melalui layar-layar dunia: ponsel, laptop, dan media sosial.
Santri yang dulu dikenal tekun mengaji kini juga dikenal melek literasi digital, membawa nilai-nilai Islam yang damai ke ruang maya.

Santri dan Tradisi Literasi Sejak Dulu

Bagi santri, literasi bukan hal baru. Sejak awal berdirinya pesantren, literasi sudah menjadi bagian dari napas kehidupan.
Tradisi membaca kitab kuning, menyalin pelajaran dengan rapi, hingga menghafal matan dan syarah — semuanya adalah bentuk latihan literasi klasik.

Dalam dunia pesantren, seorang santri belajar membaca dengan hati, bukan sekadar mata.
Ia membaca makna di balik kata, hikmah di balik kalimat, dan rahasia di balik ilmu.
Metode seperti bandongan dan sorogan bukan hanya teknik belajar, tapi juga latihan mendalam dalam memahami, mendengarkan, dan berpikir kritis.

“Menulis adalah mengikat ilmu.”
Imam Syafi’i

Dari sini, para ulama pesantren melahirkan ribuan karya.
Kitab, risalah, dan catatan mereka menjadi warisan intelektual Islam Nusantara yang hingga kini masih dikaji di berbagai penjuru negeri.

Dunia Digital: Tantangan Baru, Peluang Baru

Zaman telah berubah.
Kini, buku-buku bisa diakses lewat gawai, dan ceramah bisa disebarkan lewat satu klik.
Namun perubahan ini membawa tantangan besar bagi santri: bagaimana menjaga adab dan kedalaman ilmu di tengah derasnya arus informasi digital?

Media sosial bisa menjadi ladang pahala — tapi juga tempat fitnah menyebar.
Konten cepat saji bisa menghibur — tapi seringkali mengikis makna.

Di sinilah santri masa kini harus tampil beda.
Ia tidak cukup hanya bisa membaca kitab, tapi juga perlu memahami bahasa zaman.
Santri harus bisa menggunakan pena dan ponsel secara bersamaan — berdakwah dengan etika, menulis dengan ilmu, dan berbicara dengan hikmah.

“Santri digital bukan berarti meninggalkan kitab, tapi memperluas dakwah dengan cara baru.”

Menulis Sebagai Dakwah dan Warisan

Menulis bagi santri bukan sekadar aktivitas akademik, tapi ibadah.
Setiap kata yang ditulis dengan niat lillāhi ta‘ālā menjadi amal yang terus mengalir.

Menulis juga menjadi cara santri menyambung warisan ulama terdahulu.
Kalau dulu KH. Hasyim Asy’ari menulis Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim untuk menanamkan etika ilmu, maka santri masa kini bisa menulis artikel, esai, atau refleksi yang menanamkan semangat adab dan ilmu di dunia digital.

Tulisan santri bisa sederhana, tapi mengandung makna besar:

  • Menulis tentang adab kepada guru,
  • Berbagi kisah perjuangan mencari ilmu,
  • Mengulas kitab klasik dengan bahasa kekinian,
  • Atau sekadar merenungi kehidupan di pondok dengan sentuhan hati.

Semua itu bagian dari literasi santri yang hidup dan relevan.

dauroh ramadhan

Cahaya Literasi di Era Digital

Ketika banyak orang menggunakan teknologi untuk hal yang sia-sia, santri justru bisa menjadikannya sarana dakwah.
Melalui tulisan, video pendek, podcast, atau konten edukatif, santri bisa menyebarkan nilai Islam yang damai dan cerdas.

Inilah yang disebut sebagai “cahaya literasi santri”
cahaya yang tidak hanya menerangi ruang pesantren, tapi juga menjangkau layar-layar di seluruh dunia.

Cahaya itu lembut tapi kuat.
Ia lahir dari niat ikhlas menebar ilmu, bukan mencari popularitas.

Perjalanan dari lembar kitab ke layar dunia bukanlah perjalanan meninggalkan tradisi, melainkan memperluas jangkauan ilmu.
Santri masa kini memegang dua pena: satu dari tinta, satu dari cahaya layar.
Keduanya bisa menulis kebaikan — jika digunakan dengan ilmu dan adab.

Literasi bukan sekadar kemampuan membaca atau menulis, tetapi kemampuan menjaga ilmu agar tetap hidup.
Dan santri, dengan segala kesederhanaannya, terus menjadi penjaga itu — menyalakan cahaya yang tidak pernah pada

“Selama masih ada santri yang menulis, dunia tidak akan kehabisan cahaya ilmu.”


Share Tulisan
Scroll to Top