thumbnail_blog_ilmu_fiqih

Mengapa Ilmu Fiqih Sangat Penting Dalam Kehidupan Sehari-hari

Share Tulisan

Secara kasat mata, kita sangat memerlukan fiqih dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajarinya, kita akan memiliki pemahaman cara interaksi yang benar terhadap wahyu, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Ilmu fiqih akan menjelaskan bagaimana tata cara beribadah dengan benar.

Fiqih juga diperlukan sebagai panduan utama saat menjalankan ibadah maupun muamalah (interaksi sosial) dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu ini akan memandu seseorang dalam menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya.

Kalau ditanya seberapa pentingnya ilmu fiqih bagi seorang muslim, jawabannya sangatlah penting. Dalam Islam, semua memiliki aturan seperti dalam sholat, berwudu, mandi wajib, puasa, zakat, hingga bersosial, seperti bertetangga, berdagang, dan berinteraksi lainnya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengajarkannya. Tanpa fiqih, ibadah dan muamalah bisa kacau dan tidak terarah. Jika aturan ini tidak dipahami dan dijalankan sesuai ilmu fiqih, maka ibadah dan muamalahnya tidak sah.

Definisi Ilmu Fiqih

Secara arti, ilmu fiqih adalah ilmu dengan hukum-hukum syariat atas suatu perbuatan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan ilmu usul fiqih yaitu ilmu dengan kaidah-kaidah dan pembahasan yang dapat menghasilkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil yang terperinci.

Fiqih sebagai disiplin keilmuan dalam agama Islam telah berhasil menjelaskan hukum-hukum yang terkandung pada setiap potong ayat dan hadis yang jumlahnya ribuan. Dengan menguasai disiplin ilmu Fiqih, ajaran agama Islam bisa dipahami dengan benar, sebagaimana Rasulullah saw dahulu mengajarkannya.

Namun akan terjadi sebaliknya jika memahami ajaran Islam hanya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah saja dan mengabaikan ilmu Fiqih. Maka yang terjadi adalah penyelewengan terhadap makna yang terdapat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Khususnya ayat dan hadis yang mengandung implikasi hukum di dalamnya.

Salah satu contoh bahwa ilmu Fiqih adalah alat yang sangat penting untuk memahami ajaran Islam dengan benar adalah dalam memaknai ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun hadis-hadis hukum dalam kitab-kitab hadis.

Fiqih memiliki peran terbesar dalam pelaksanaan syariat Islam dibandingkan dengan disiplin keilmuan lainnya seperti akidah, tasawuf, dan lain sebagainya.

Macam-Macam Ilmu Fiqih

1. Fiqih Ibadah

Fiqih ibadah mengkaji masalah hubungan hamba dan Allah, seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah-ibadah lainnya. Tujuan dari ibadah ini adalah mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, mengharapkan ridha dari-Nya, dan dijauhkan dari api neraka.

Pada fiqih ibadah ini, ulama memposisikan akal tidak mampu dengan sendiri memahami makna dan tujuan hakiki disyariatkannya ibadah, karena ibadah merupakan kategori ghair ma’qûl al-ma’nâ (tidak bisa dicerna oleh akal).

Pada bagian ini, ulama tidak dapat melakukan ijtihad, meskipun mereka memahami tujuan dan ilat suatu ibadah tidak bisa dijadikan analogi untuk proses ijtihad. Allah menurunkan kewajiban ibadah dan Nabi menjelaskan secara rinci tentang ibadah itu. Sementara manusia diwajibkan untuk melaksanakannya.

Ayat-ayat yang menjelakan fiqih ibadah sholat, misalnya dalam surah An-nisa ayat 103:

“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 103)

Ayat yang menjelaskan keringanan saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Firman Allah:

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Fiqih juga menjelaskan tata cara dalam sholat, dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, ia berkata “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membuka sholat dengan ‘ALHAMDULILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN’. Apabila beliau rukuk, beliau tidak mengangkat kepala dan juga tidak menundukkannya, tetapi pertengahan antara keduanya. Apabila beliau bangkit dari rukuk, beliau tidak akan bersujud sampai beliau berdiri tegak. Apabila beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak akan bersujud lagi sampai beliau duduk tegak. Pada setiap dua rakaat, beliau selalu membaca tahiyat. Ketika itu kaki kiri diletakkan di lantai dan menegakkan kakinya yang kanan. Beliau melarang duduk ‘uqbah asy-syaithon. Beliau melarang lengan tangan diletakkan di tanah seperti duduknya binatang buas. Beliau mengakhiri shalat dengan salam.” (HR. Muslim dan hadits ini memiliki ‘illah, yaitu cacat).

[HR. Muslim, no. 498. Hadits ini secara zhahir sahih, tetapi ada ‘illah, cacat. Karena Abul Jauza’, yang mana nama aslinya adalah Aus bin ‘Abdullah Ar-Raba’i tidak mendengar dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi dan Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan seperti itu. Namun, ada kemungkinan Abul Jauza itu mendengar langsung karena masih semasa. Inilah yang dimaksudkan oleh Imam Muslim. Namun, sejatinya perawi tidak berjumpa dengan yang ia riwayatkan darinya atau tidak mendengarnya secara langsung. Oleh karena itu, hadits ini mursal. Wallahu a’lam].

2. Fiqih Muamalah dan Adat

Fiqih muamalah membahas masalah hubungan sesama manusia, baik hubungan antar individu, hubungan individu dengan masyarakat, atau hubungan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, seperti transaksi perdagangan, penentuan kejahatan dan sanksi, pengaturan perang dan perjanjian, perusahaan, dan sebagainya.

Tujuan utama dari fiqih muamalah adalah mengatur hubungan sesama manusia dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka yang sesuai dengan prinsip syari’ah.

Muamalat, menurut ibnu Najim, menyangkut lima hal, yaitu pertukaran harta, perkawinan, persengketaan, pemberian kepercayaan, dan kewarisan. Sa’id Muhammad al-Jalîdi membagi bentuk-bentuk muamalat sebagai berikut:

  1. Kepemilikan: Transaksi (‘aqd) dan tindakan (tasharruf) yang menyebabkan kepemilikan sesuatu atau manfaat. Termasuk dalam kategori ini adalah serah terima atau pertukaran, seperti jual beli, sewa menyewa, sharf, salam, perkawinan, muzara’ah, musaqah, dan sebagainya. Termasuk serah terima dengan niat kebaikan (tabarru’), seperti hibah, shadaqah, wasiat, i’arah, dan sebagainya.
  2. Pembatalan: Tindakan yang menyebabkan pembatalan tanpa penggantian, seperti cerai, pemutusan, pencabutan hak, pengampunan qishash. Juga masuk kategori ini adalah pembatalan sesuatu dengan penggantian, seperti khulu’, perdamaian utang, pengampunan qishash dengan ganti rugi.
  3. Pemberian wewenang: Tindakan yang menyebabkan kebolehan melakukan tindakan terhadap harta atau hak yang sebelumnya dilarang, seperti pelimpahan, perwakilan, izin berdagang bagi anak kecil dan anak dalam pengampuan.
  4. Pencabutan wewenang: Tindakan yang menyebabkan terputusnya wewenang yang diberikan sebelumnya, seperti penghentian perwakilan dan pencabutan izin bagi anak kecil dalam berdagang.
  5. Kerjasama: Transaksi dan kesepakatan bekerjasama baik dari modal maupun pekerjaan atau keduanya, seperti mudharabah, muzaraah, musaqah, dan sebagainya.
  6. Pemberian kepercayaan: Segala yang mengandung unsur mengembalikan atau kerugian, seperti rahn, kafalah, hiwalah, asuransi syari’ah dan sebagainya.

3. Fiqih Wanita

Islam adalah agama yang mengatur segala kehidupan manusia dengan sebaik mungkin. Aturan tersebut tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis yang menjadi penuntun umat Islam dalam beragama maupun kehidupan sehari-hari. Contoh perkara wanita yang diatur dalam hukum fiqih wanita:

  1. Rukun Mandi Wajib bagi Wanita
    Mandi wajib adalah mandi yang sebaiknya dilakukan oleh seorang muslim untuk membersihkan dirinya dari hadas besar dengan melakukan rukun-rukun yang sudah ditetapkan dalam hukum fiqih wanita. Mandi wajib ini berlaku bagi pria maupun wanita.
    Pada wanita, mandi wajib dilakukan salah satunya setelah haid karena haid adalah najis yang menghalangi seorang wanita untuk beribadah. Oleh karena itu, ketika wanita telah selesai haid maka wanita wajib untuk bersuci dengan mandi wajib haid.
    Rukun mandi wajib untuk wanita dilakukan setelah haid dimulai dengan niat mandi besar, membersihkan kotoran dan najis yang menempel di tubuh menggunakan air, meratakan air pada seluruh bagian anggota tubuh termasuk bagian lipatan dan rambut.
  2. Larangan bagi Wanita yang Sedang Haid
    Saat wanita mengalami haid, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan seperti tidak boleh sholat, tidak diwajibkan puasa, haram menyetubuhi wanita yang haid, menyentuh mushaf Al-Qur’an.
  3. Hukum Puasa bagi Ibu Menyusui
    Hukum puasa Ramadhan adalah wajib bagi seluruh umat yang beragama Islam yang telah memenuhi syarat-syarat puasa. Namun, ketika wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa, maka harus mengganti puasanya di hari lain selain bulan Ramadhan atau membayar fidyah.
  4. Pakaian bagi Wanita Muslim
    Seorang wanita sebaiknya memperhatikan syarat berpakaian dalam Islam, yaitu menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, bukan pakaian untuk berhias atau dihiasi bunga atau gambar yang berwarna-warni, pakaian yang tidak tipis, menampakkan lekuk tubuh, diberi wangi-wangian dan pakaian wanita tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.

Dengan mempelajari ilmu fiqih (kaidah dan ushul-nya), akan lebih mudah menjalankan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ilmu ini akan memandu dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, dari ibadah (interaksi hamba dengan Allah) hingga aspek muamalah (interaksi sesama hamba Allah) dan juga perkara wanita yang diatur dalam kehidupan sehari-hari.


Share Tulisan
Scroll to Top