Agama Islam adalah agama samawi yang telah diturunkan Allah azza wa jalla. Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi islam adalah paradigma, islam adalah ilmu, islam adalah word view dan islam adalah Solusi terhadap seluruh persoalan hidup manusia dengan segala ruang lingkupnya, dimana Al-Qur’an hadir sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia termasuk dalam Pendidikan terhadap anak.
Pada dasarnya anak ialah amanah dari Allah Swt dan merupakan generasi penerus bagi kedua orang tuanya, sedangkan keluarga adalah lembaga atau tempat pertama bagi anak untuk belajar dan bersosial. Keluarga menjadi dasar pendidikan karakter bagi anak.
Keluarga adalah komunitas atau lembaga pertama dan utama bagi anak, yang memiliki peran penting dan sangat mempengaruhi dalam tumbuh kembang anak. Sedangkan orang tua adalah pendidik pertama bagi anak, karena dari mereka lah anak pertama kali mendapat Pendidikan (Komunikasi et al., 2021).
1. Ayat-ayat Al-qur’an tentang diksi anak

Menurut Huda dan Idris dalam (Mizani, 2017), Terdapat 4 macam kata dalam penyebutan anak pada al-Qur’an, al-awlad, al-banun, al-athfal dan ghilman. Istilah al-awlad dan al-banun memiliki konotasi yang saling berlawanan. al-awlad berkonotasi makna negatif dan al-banun memiliki konotasi positif, sehingga berimplikasi tersendiri dalam pendidikan anak.
Pertama, anak dengan Diksi Al-awlad
Allah azzawajalla berfirman:
فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ اَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كٰفِرُوْنَ
Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir.
Dalam Tafsir Almadinah Almunawwarah dijelaskan: Hai Rasulullah, janganlah kamu takjub terhadap harta dan keturunan orang-orang munafik, karena kesudahan harta dan anak-anak mereka itu sangat buruk bagi mereka. Allah menjadikannya azab bagi mereka dengan kesusahan dan kelelahan dalam mencarinya, musibah-musibah yang datang darinya hingga Allah mencabut nyawa mereka dalam keadaan kafir, lalu Allah akan mengazab mereka di kerak api neraka selama-lamanya.
Istilah al-awlad, biasanya dikaitkan dengan makna yang pesimistis, sehingga anak memerlukan perhatian khusus dalam hal penjagaan, perhatian dan pendidikan. Qatadah berkata,”Ayat ini termasuk makna didahulukan dan diakhirkan, yaitu, “Janganlah kamu terpesona dengan harta dan anak-anak mereka di kehidupan dunia. Sesungguhnya Allah hanya menghendaki untuk mengazab mereka hal itu di akhirat”
Kedua, Anak dengan diksi Al-Banun
Allah azzawajlla berfirman:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Kementerian agama dalam tafsirnya menjelaskan: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, baik dan indah sifatnya serta bermanfaat bagi manusia, tetapi dapat memperdaya dan tidak kekal; tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh yang dilakukan karena Allah dan sesuai tuntunan agama adalah lebih baik pahalanya disisi tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan yang dapat membawa kepada kebahagiaan yang kekal sampai di akhirat nanti. Dan ingatlah pada hari yang ketika itu kami perjalankan gunung gunung, yakni kami hancurkan sehingga ia menjadi bagai kapas yang beterbangan, dan engkau akan melihat bumi itu rata karena tidak ada lagi gunung, tanaman ataupun bangunan, dan kami kumpulkan mereka di padang mahsyar, tempat berkumpulnya seluruh manusia baik yang hidup dahulu maupun kemudian, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka di dalam kuburnya, yakni di alam barzakh.
Ayat-ayat dengan ungkapan al-banun yang mengandung arti/pemahaman optimis. Sehingga menimbulkan kebanggan dan ketenteraman khusus dalam hati. Berdasarkan ayat-ayat tentang al-awlad dan al-banun memiliki makna bahwa anak memiliki potensi menjadi Impian yang menyenangkan jika dididik dengan baik, dan sebaliknya akan menjadi malapetaka (fitnah) jika tidak dididik dengan baik. Inilah kemungkinan yang ditimbulkan, yakni rasa optimis dan pesimis. Hal ini juga menunjukkan bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah dapat dididik dan juga mempunyai potensi tidak terdidik (Mizani, 2017).
Ketiga, Anak dengan diksi Al-athfal
Allah azzawajalla berfirman:
وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Apabila anak-anak di antaramu telah sampai umur dewasa, hendaklah mereka meminta izin seperti halnya orang-orang yang (telah dewasa) sebelum mereka (juga) meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam tafsir Al-Muyassar kementerian Saudi Arabia menjelaskan: Dan apabila anak-anak kecil dari kalian telah mencapai usia baligh dan masa mukallaf untuk mengemban kewajiban hukum-hukum syariat, maka mereka harus meminta izin bila akan masuk di seluruh waktu, sebagaimana orang-orang dewasa meminta izin dahulu. Dan sebagaimana Allah telah menjelaskan adab-adab meminta izin, Allah juga menjelaskan ayat-ayatNya kepada kalian. Dan Allah Maha mengetahui hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan hamba-hambaNya, lagi Maha Bijaksana dalam penetapan syariatNya.
Istilah al-athfal, menandakan anak-anak yang telah memasuki masa baligh perlu diperlakukan secara manusiawi dalam memasuki masanya Ayat lain menjelaskan periodisasi yang dialami dalam penciptaan dan kehidupan manusia. Selain itu juga digunakan untuk menjelaskan anak-anak yang belum mengerti aurat wanita (sehingga memandang anak-anak tidak termasuk aurat) (Mizani, 2017).
Keempat, Anak dengan diksi Ghilman
Allah azzawajalla berfirman:
وَيَطُوْفُ عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ لَّهُمْ كَاَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَّكْنُوْنٌۚ
Dan di sekitar mereka ada anak-anak muda yang berkeliling untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: Allah SWT memberitahukan tentang karunia, kemurahan, kelembutan, dan kebaikanNya kepada makhlukNya bahwa orang-orang mukmin itu apabila anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka anak cucu mereka itu akan diikutkan kepada mereka dalam kedudukan yang sama, sekalipun anak cucu mereka masih belum mencapai tingkatan amal mereka. Demikian itu agar hati dan pandangan para ayah merasa sejuk dengan berkumpulnya mereka bersama anak-anak mereka, sehingga mereka dapat bergabung bersama-sama dalam keadaan yang sebaik-baiknya dari segala sisi, yaitu Allah melenyapkan kekurangan dari amal dan menggantinya dengan amal yang sempurna, tanpa mengurangi amal dan kedudukan yang sempurna, mengingat adanya kesamaan di antara mereka.
Pemaknaan ghilman berkonotasi makna anugerah yang luar biasa berupa keturunan (anak) di luar batas perhitungan manusia hal ini sebagaimana terjadi dalam keluarga Nabi Zakaria yang mendapat keturunan Yahya pada saat usianya senja dan bahkan isterinya pun dalam keadaan mandul. Demikian juga yang terjadi pada Maryam yang mendapat keturunan Nabi Isa tanpa perantara seorang laki-laki. Ghilman juga berkonotasi makna anak yang menakjubkan, anak laki-laki yang alim (sebutan untuk Nabi Ishaq), anak laki- laki yang amat sabar (sebutan untuk Nabi Isma’il), dan anak laki-laki yang keturunan orang mukmin (Mizani, 2017).
2. Model Komunikasi Orangtua dan anak didalam Al-Qur’an
Keluarga merupakan miniatur sebuah pemerintahan, maka jika ditinjau dari aspek politik, keluarga lembaga terkecil dalam upaya menumbuhkan kesadaran berpolitik dari segi kemerdekaan berpendapat, masing-masing anggota dibawah naungan keluarga memiliki hak untuk berpendapat dan mempresentasikannya yang dikenal dengan sistem syura. Dalam Islam, ajaran syura memiliki muatan yang sangat luas, termasuk salah satunya adalah adanya unsur Pendidikan (Rahmawati, 2023).
Ayat yang menjadi rujukan model berkomunikasi di dalam Al-Qur’an dikenal dengan model Syuro atau musyawarah sebagaimana firman Allah azzawajalla:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.
Berdasarkan ayat diatas Quraish Shihab menjelaskan tentang prinsip musyawarah dalam keluarga muslim. Pertama, berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memanfaatkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir Bersama dengan sinar kekeruhan hati. Ketiga, kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dan hasil suatu musyawarah, hubungan dengan Tuhan harus harmonis. Dengan demikian permohonan maghfirah dan ampunan Illahi harus mengiringi musyawarah (Rahmawati, 2023).
3. Ayah Adalah Kunci Utama Komunikasi Dengan Anak Didalam Al-Qur’an

Al Qur’an telah menyajikan sesuatu yang membuat kita harus berfikir lebih dalam,yakni beberapa ayat yang mengisahkan komunikasi antara orang tua dan anak. Al Qur’an menceritakan sembilan pasang komunikasi yang diperankan oleh bapak dengan anak dan satu pasang komunikasi antara ibu dengan anak, sedangkan yang kita fahami selama ini bapak dan ibu memiliki tanggung jawab yang sama atas Pendidikan anak(Hidayati, 2018).
Sembilan Ayat Komunikasi Ayah Dengan Anak Di Dalam Al-Qur’an | Satu Ayat Komunikasi Ibu Dengan Anak Di Dalam Al-Qur’an |
1. Surat al-Baqoroh ayat 132 (nabi Ibrahim as dengan anaknya). 2. Surat al-Baqoroh ayat 132-133 (nabi Ya’qub as dengan anak-anaknya). 3. Surat Hud ayat 42-43 (nabi Nuh as dengan anaknya Ka’an) 4. Surat Lukman ayat 13-19 (Lukman al-Hakim dengan anaknya) 5. Surat al-Qoshosh ayat 26-27 (nabi Syu’aib as dengan anak perempuannya) 6. Surat Yusuf ayat 4-5 dan 99-100 (nabi Ya’qub as dengan anaknya nabi Yusuf as) 7. Surat Yusuf ayat 11-14, 17-18, 63- 67, 81-87 dan 93-98 (nabi Ya’qub as dengan anak-anaknya/saudara-saudara nabi Yusuf as) 8. Surat al-An’am ayat 84 dan surat Maryam ayat 42-47 (Azar dengan anaknya nabi Ibrahim as) 9. Surat ash-Shoffat ayat 102 (nabi Ibrahim as dengan anaknya nabi Ismail as) | 1. Surat al-Qoshosh ayat 11 (ibu nabi Musa as dengan anaknya Maryam) |
Ayah adalah kunci penanaman nilai-nilai Aqidah dan akhlak pada anak-anaknya sebagaimana pada ayat-ayat diatas. Beberapa tokoh pendidikan seperti al-Ghazali berpendapat bahwa metode pendidikan yang baik adalah menyajikan cerita-cerita orang yang shaleh, membiasakan hal yang baik. Sedangkan menurut Ibn Khaldun adalah metode bertingkat (level), berulang-ulang (drill),berdiskusi dan problem solving, dan menurut Al-Abrashi adalah petunjuk, tuntunan, nasehat, memberikan sajak-sajak yang berisi hikmah, dan berita- berita yang berharga, cara mengambil manfaat dari sesuatu atau tauladan. Untuk menggunakan metode-metode tersebut kita membutuhkan keterampilan berkomunikasi yang baik. Ketrampilan berkomunikasi yang baik adalah di mana seseorang dapat menyampaikan pesan sesuai dengan tingkat pemahaman yang dimiliki oleh komunikan.
Peran ibu dalam Pendidikan anak adalah sebagai madrasah (sekolah) sebagaimana masyhur orang arab mengatakan;
الاُمّ مدرسة الأُولى اذا اعددتها اعددت شعبا طيّبا
Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik.
Syair tersebut dicetuskan oleh Hafiz Ibrahim sebagai orang yang mencetuskan kalimat tersebut. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hafiz bin Ibrahim Afnadi Fahmi (1872-1932) atau lebih populer dengan nama Hafiz Ibrahim. Beliau adalah penyair Mesir yang dikenal secara luas oleh masyarakat pada abad Pencerahan yang masih berpegang pada tradisi kesusastraan Arab Klasik. Oleh karenanya beliau dikenal sebagai Penyair Neo klasik (Hidayah, 2021).
Secara historis, karakter dan pemikiran Hafiz Ibrahim ditentukan oleh sosok ibu yang telah berperan seorang diri dalam membesarkan anaknya. Maka konklusinya adalah ibu adalah orang pertama yang mengajarkan berbagai hal tentang wawasan kehidupan yang baik. Hal tersebut berdasarkan latar belakang pengalaman hidupnya dimana tugas bapak adalah keluar rumah untuk mencari nafkah dan mengikuti perang apabila negaranya tidak aman, sedangkan ibu tugasnya adalah di rumah menemani, merawat dan mendidik anaknya. pandangan Hafiz Ibrahim tentang keberhasilan dan kesuksesan anak yang ditentukan oleh ibunya didasarkan pada latar belakang konstruksi sosial di masyarakat nya saat itu. Padahal struktur sosial masyarakat saat ini pencari nafkah dalam keluarga tidak hanya bapak, bisa jadi ibu atau keduanya (Hidayah, 2021).
Ibu merupakan Madrasah yang paling utama dalam pembentukan kepribadian anak. Disamping itu ia sangat berperan sebagai figur sentral yang dicontoh dan diteladani dengan perilaku atau moralitas melalui arahan dalam berbagai keutamaan yang mulia. Untuk mencapai keutamaan ini seperti menanamkan akhlak- akhlak terpuji baik terhadap keluarga maupun di kalangan masyarakat maka para ibu perlu sekali memperhatikan anak-anaknya sejak dini, setiap muncul sifat-sifat negatif seperti sombong, congkak, hendaknya mereka segera mengobatinya (Gade, 2012).
Berdasarkan pada Sembilan ayat didalam Al-Qur’an maka, Ayah adalah pilar utama, ayah adalah teladan utama, ayah adalah penentu dari Aqidah, akhlak, karakter dan Ayah adalah penjaga keluarga dari api neraka. Sebagaimana Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Para mufassir mrnyebutkan bahwa ayat قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ khitobnya adalah suami atau ayah. Ini semakin memperjelas bahwa tugas mendidik, memelihara, menjaga, mengarahkan, dan mengajarkan semua perkara yang baik adalah ayah.
4. Prinsip Komunikasi Dengan Anak didalam Al-Qur’an
Berkaitan dengan prinsip komunikasi antara orang tua dan anak didalam Al-Qur’an maka komunikasi Qoul Sadid adalah sebagai petunjuk dari Allah sebagai cara berbicara dengan anak. Sebagaimana dalam FirmanNya:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
Menurut Syaikh Zuhaili bahwa قَوْلًا سَدِيْدًا itu adalah; perkataan yang benar, adil, dan lemah lembut seperti “wahai anakku” sehingga membuat mereka nyaman. Menurut Syaikh Sulaiman Al Asyqar قَوْلًا سَدِيْدًا adalah: (perkataan yang benar) yakni yang sesuai dengan kebenaran dan keadilan. Menurut syaikh Shalih asy-Syawi قَوْلًا سَدِيْدًا adalah: hendaklah mereka takut kepada Allah dan hendaklah mereka betul berkata perkataan yang tiada mengada-ngada.
Berdasarkan pada penafsiran diatas maka prinsip berbicara kepada anak adalah: Harus benar dan harus adil. Dalam kamus KBBI benar adalah: 1 sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah: apa yang dikatakannya itu –; jawabannya — semua; 2 tidak berat sebelah; adil: keputusan hakim hendaknya –; 3 lurus (hati): orang ini amat –; 4 dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya); tidak bohong. Sedangkan adil adalah: sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak: keputusan hakim itu –; 2 berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Kesimpulannya Al-Qur’an telah memberi kita petunjuk apapun persoalan anak maka cara berkomunikasi dari orangtua kepada anak adalah dengan cara benar dan adil.
Referensi
Gade, F. (2012). Ibu Sebagai Madrasah Dalam Pendidikan Anak. Jurnal Ilmiah Didaktika, 13(1), 31–40. https://doi.org/10.22373/jid.v13i1.462
Hidayah, U. (2021). Makna Ibu Sebagai Madrasah Pertama Dalam. 16(2), 31–46.
Hidayati, N. (2018). Komunikasi Antara Bapak/Ibu Dengan Anak Dalam Perspektif Pendidikan (Tinjauan Tematik Ayat-Ayat Al Qur’an). Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Tafsir, 1(1), 31–40.
Komunikasi, P., Dalam Mengasuh, I., Sri, A., Rayhaniah, A., Pada, S., Perempuan, A., Daerah, P., Samarinda, S., & Sri, ). (2021). Pola Komunikasi Islam dalam Mengasuh Anak. Komunida: Media Komunikasi Dan Dakwah, 11(4), 29–41. https://doi.org/10.35905/komunida.v11i01
Mizani, Z. M. (2017). Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Islam (Tinjauan Pedagogis Komunikasi Nabi Ibrahim dengan Nabi Isma’il dalam Al-Qur’an). Ibriez : Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis Sains, 2(1), 95–106. https://doi.org/10.21154/ibriez.v2i1.28
Rahmawati, S. T. (2023). Pendekatan Komunikasi Islami dalam Keluarga perspektif Al-Qur’an. Jurnal Pendidikan Tambusai, 7, 4097–4102. http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3403678&val=13365&title=Pendekatan Komunikasi Islami dalam Keluarga perspektif Al-Quran