Orang Tua Bergantung Kepada Anak? Ini Pandangan Al-Qur’an – Di era modern ini, tidak sedikit orang tua yang secara emosional dan finansial bergantung kepada anaknya. Fenomena ini dikenal sebagai bagian dari realita “generasi sandwich,” yaitu mereka yang berada di tengah-tengah tekanan antara memenuhi kebutuhan orang tua dan anak mereka. Namun, bagaimana sesungguhnya posisi anak dalam pandangan Islam? Apakah benar bahwa kebahagiaan hidup hanya terletak pada pengabdian orang tua terhadap anak, atau sebaliknya? Artikel ini mencoba menyelaraskan antara realita sosial dan pandangan Al-Qur’an mengenai hubungan antara orang tua dan anak agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang tidak sehat.
Anak dan Orang Tua Saling Membutuhkan
Anak tidak menjadi sebab kesulitan atau kesengsaraan orang tua, dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak. Banyak anak pernah dianggap suatu sumber kekuatan dan kekuasaan. Menurut para orang tua, kekayaan dan keluarga besar itu adalah suatu ujian dan percobaan karena waktu hidup mereka hanya digunakan untuk mencari dan mengumpulkan uang demi kehidupan sebuah keluarga, terutama dalam masalah anak. Kebahagiaan anak menjadi tujuan hidup semata. Dalam kata lain, kehidupan hanya digunakan untuk mengabdi kepada anak.
Tetapi, di tengah kesibukan ini, para orang tua lupa ujung perjalanan dan tujuan utama hidup yang kelak akan kembali kepada Sang Ilahi. Semuanya dapat berbalik menjadi keruntuhan rohani jika salah ditangani atau jika kecintaan kepada anak menyisihkan kecintaan kepada Allah SWT. Dari sinilah penulis memfokuskan diri pada term anak, orang tua, dan keluarga sehingga dapat diketahui makna anak yang sesungguhnya dalam Al-Qur’an.
Pandangan Al-Quran Terhadap Orang yang Memiliki Anak
Pandangan Al-Qur’an tentang anak secara global dapat diformulasikan dalam prinsip bahwa anak tidak menjadi sebab kesulitan atau kesengsaraan orang tua, dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anak (Sabiq 1972). Kebahagiaan dalam keluarga akan lengkap jika dianugerahi seorang anak. Semua orang tua pasti mengharapkan anaknya yang soleh dan solehah. Anak merupakan karunia Allah SWT yang sangat besar nilai dan fungsinya bagi kehidupan keluarga: sumber kebahagiaan, penerus keturunan, pelestari pahala orang tua, dan merupakan amanah Allah SWT.
Maka, setiap orang tua seyogianya senantiasa bersyukur apabila telah dikaruniai anak dan menyadari bahwa anak adalah amanat yang dititipkan oleh Allah SWT kepada mereka (Halim 2003).
Anak adalah sebuah perhiasan, salah satu buktinya adalah ketika orang tua mendapatkan anak begitu menyenangkan hatinya sehingga disebut-sebut sebagai buah hati. Menurut Hamzah Hasan, anak dapat dikatakan sebagai musuh atau sebagai fitnah ketika tidak lagi diposisikan secara proporsional atau ketika berubah peran menjadi pemicu fitnah dan permusuhan. Hal ini sama seperti emas dan berlian yang jatuh di tangan penjahat, maka nilainya menjadi tidak berarti. Sebagaimana telah dikatakan, anak bisa membuat orang tua jauh dari mengingat Allah (Hasan 2009).
Sejak lahir, seorang anak telah memiliki berbagai kebutuhan, baik psikologis, kasih sayang, makanan, dan lain-lain. Kebutuhan tersebut seyogianya dipenuhi oleh lingkungan keluarga yang mendukung seluruh aspek perkembangan anak (Mutiah 2010). Namun dalam praktiknya, banyak keluarga yang menjadikan anak sebagai pusat segala orientasi hidup hingga menomorduakan aspek spiritual dan tanggung jawab vertikal kepada Allah SWT.
Dalam sejarah peradaban manusia, status anak mencerminkan pandangan masyarakat terhadap generasi penerusnya. Sayangnya, banyak masyarakat yang mempersepsikan anak hanya sebagai simbol status atau kepuasan pribadi, bukan sebagai amanah dan investasi akhirat. Banyak yang mewarisi anak dengan beban air mata, bukan mata air kebahagiaan dan kebaikan. Maka, penting untuk mengubah perspektif dan mewariskan mata air kehidupan, bukan beban penderitaan (Sabda 2015).
Baca juga Amalan Bulan Dzulhijjah: Bulan Spesial Penuh Amalan dan Pahala
Kita juga perlu memahami bahwa perkembangan anak berlangsung sejak konsepsi hingga meninggal dunia. Anak tidak pernah berada dalam keadaan statis, melainkan terus berkembang dan berubah secara progresif (Wafiqni dan Latip 2015). Oleh sebab itu, orang tua seharusnya hadir sebagai pembimbing yang sadar akan pertumbuhan anak secara psikologis dan spiritual, bukan menjadikan mereka sebagai alat pencapaian duniawi belaka.
Fenomena “generasi sandwich” di zaman ini semakin nyata. Banyak anak muda terjebak dalam kondisi harus menanggung kehidupan orang tua sekaligus membesarkan anak mereka sendiri. Hal ini tidak serta-merta salah, tetapi harus diiringi dengan kesadaran orang tua untuk tidak menuntut anak secara berlebihan dan terus menggantungkan hidup kepada mereka. Islam menekankan pentingnya tanggung jawab masing-masing dalam kehidupan keluarga. Ketika seorang anak telah dewasa dan memiliki tanggung jawab sendiri, orang tua juga harus berusaha mandiri semampunya dan mempercayakan anaknya untuk melanjutkan kehidupan sesuai ajaran agama.
Penutup
Relasi antara orang tua dan anak dalam pandangan Islam bukanlah hubungan ketergantungan yang mengekang satu sama lain. Al-Qur’an menempatkan anak sebagai amanah dan perhiasan dunia yang bisa menjadi ladang pahala atau justru ujian tergantung bagaimana posisi itu dikelola. Ketergantungan orang tua kepada anak di masa tua adalah hal yang manusiawi, tetapi harus dikelola dengan bijak agar tidak menjadi beban bagi generasi berikutnya.
Generasi sandwich adalah bukti tantangan zaman, di mana anak-anak harus memikul beban dua generasi. Maka, penting bagi setiap keluarga muslim untuk memahami posisi dan peran masing-masing dalam koridor syariat. Tidak hanya mencari kebahagiaan duniawi, tetapi juga memastikan bahwa hubungan antara orang tua dan anak membawa kedekatan kepada Allah SWT.
Semoga artikel ini menjadi refleksi untuk kita semua, agar mampu menyeimbangkan kasih sayang terhadap anak dengan cinta kepada Allah, serta menjadikan keluarga sebagai sarana menuju kebaikan dunia dan akhirat.